Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) bidang Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan Triyanto merespons dileburnya mata pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ke dalam Pendidikan Pancasila dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Dalam RUU Sisdiknas pasal 84 disebutkan mata kuliah Pendidikan Pancasila mencakup muatan tentang Pendidikan Kewarganegaraan.
Menurut Triyanto, hal itu sama saja dengan menghilangkan mata kuliah atau mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Dia menyebut tak ada kekuatan hukum kuat materi tersebut diajarkan di sekolah atau di kampus.
“Menghilangkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan hanya disebut bagian dari muatan Pendidikan Pancasila merupakan suatu yang keliru,” ujar Triyanto yang juga merupakan Sekretasi Jenderal Asosiasi Profesi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI) pada saat menggelar konferensi pers di Hotel Pos In Solo, Senin, 12 September 2022.
Disebut Bertentangan dengan Sejumlah Aturan Triyanto menjelaskan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 telah dibedakan antara Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Dia menilai dihapusnya Pendidikan Kewarganegaraan itu dilakukan tanpa melihat regulasi secara menyeluruh.
Dihapusnya mata kuliah atau pelajaran tersebut, menurut dia, akan bertentangan dengan UUD 1945, tepatnya Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Selain itu juga bertentangan dengan juncto Pasal 9 UU No.3/2002 Tentang Pertahanan Negara, juncto Pasal 6 UU No.23/2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara, yang menyatakan bahwa salah satu bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan.
Dia menjabarkan, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pendidikan untuk warga negara yang bersifat umum, universal, dan internasional untuk membentuk warga negara yang baik atau good citizen.
Menurut dia, kajian akademiknya mencakup di antaranya identitas nasional, ideologi, nasionalisme, patriotisme, demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, negara hukum, konstitusi, dan cinta tanah air.
Adapun Pendidikan Pancasila, menurutnya, bersifat khusus di Indonesia yang fokus pada transfer ideologi, moral, nilai, dan karakter Pancasila pada warga negara.
Pancasila sebagai ideologi negara, kata dia, justru merupakan bagian dari kajian PKn.
“Oleh sebab itu tidak logis dan tidak mempunyai dasar akademik apabila membungkus muatan PKn yang bersifat umum ke dalam Pendidikan Pancasila yang bersifat khusus,” ujarnya.
Pendidikan Pancasila Menjadi Mata Pelajaran Wajib Kepala Badan Standar Asesmen dan Kurikulum Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Anindito Aditomo mengatakan di RUU Sisdiknas, Pendidikan Pancasila justru menjadi menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
“Usulan menjadikan Pendidikan Pancasila menjadi muatan dan mata pelajaran wajib termuat dalam pasal 81 dan 84 pada naskah RUU Sisdiknas,” kata Anindito.
Dalam pasal 81 disebutkan muatan wajib Pendidikan Pancasila mencakup muatan tentang Pendidikan kewarganegaraan.
Melalui RUU Sisdiknas, Anindito mengatakan pemerintah memperkuat peranan Pancasila dalam membentuk cara pandang, sikap, dan karakter generasi penerus bangsa dengan menjadikannya muatan dan mata pelajaran wajib kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Pada Undang-Undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, lanjut Anindito, Pendidikan Pancasila tidak tercantum sebagai muatan maupun mata pelajaran wajib pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Adapun Pakar Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia Kris Wijoyo Soepandji memberikan respon positif terhadap dijadikannya mata pelajaran Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib bersama dengan Pendidikan Agama dan Bahasa Indonesia.
“Langkah pemerintah memasukkan Pancasila dalam mata pelajaran melalui RUU Sisdiknas patut diapresiasi,” kata Kris.
Masuknya Pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran wajib dalam RUU Sisdiknas, lanjut Kris, penting untuk menegaskan identitas nasional.
Wujudnya akan tercermin dalam kehidupan bernegara baik dalam sistem hukum maupun kehidupan sehari-hari.
SEPTHIA RYANTHIE